Notification

×

Iklan

Iklan

Islam dan Perempuan

Kamis, 12 Januari 2023 | Januari 12, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-01-31T02:25:55Z

Ahmad Hadi handayani
Mahasiswa Prodi ES IAIH Pancor

REFORMASI.net - Setiap agama lahir di muka bumi selalu atas dasar sosio-kultural yang berbeda, yang seragam hanyalah pembawa dari setiap agama tersebut. Dalam sejarahnya, setiap agama tidak ada seorang perempuan sebagai nabi.


Bahkan dalam ranah kepemimpinan, seorang perempuan tidak pernah di posisikan menjadi pemimpin, misalnya di Lombok (NTB), dari sebagian kaum perempuan yang memiliki ilmu agama yang jauh lebih tinggi dari laki-laki, mereka hanya bergelar sebatas “ustazah”. Berbeda dengan laki-laki, jika sudah memliki ilmu agama akan disematkan gelar “Tuan Guru".


Fakta ini membuktikan bahwa dogma-dogma para ulama ortodoks yang memposisikan perempuan sebagai sunordinat sudah melekat dalam keyakinan para ulama kita di Nusantara, khususnya di Lombok. Untuk memahami lebih jauh lagi pandangan Islam tentang perempuan, ada beberapa prinsip dasar ajaran Islam dalam Al-Qur’an, yaitu. Pertama, Manusia sebagai hamba Allah. Laki-laki dan perempuan memiliki status yang sama dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai hamba Tuhan.


Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman
Artinya: Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepadaku (QS. Al-Zariyat: 56).


Dari ayat al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam ranah keagamaan. Sebagai seorang hamba kewajibannya adalah menyembah kepada Tuhan.


Kedua, Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah (Pemimpin) di muka bumi. Dalam hal ini, perempuan juga memiliki potensi yang sama untuk menjadi pemimpin. Di mana mereka harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya, seperti halnya mereka bertanggung jawab atas dasar sebagai hamba Tuhan. Dalam konteks dewasa ini, di mana akses terhadap pendidikan, teknologi, dan informasi menyebar secara luas, maka tidak elok jika kemudian kita melabeli perempuan sebagai manusia yang lemah. Allah berjanji dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 30, sebagai berikut:
Artinya: Siapa saja mempunyai ilmu pengetahuan, maka Allah sendiri akan mengangkat derajat mereka (QS. Al-baqarah: 30).


Kata “Derajat” di artikan sebagai seorang pemimpin bagi dirinya, keluarga ,masyarakat bahkan negara. Dari prinsip dasar Al-Qur'an di atas. Allah mengatakan sangat jelas bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, mereka memiliki tanggung jawab, hak, dan kewajiban yang sama sebagai hamba Tuhan. Maka tidak ada alasan bagi laki-laki untuk mengatakan bahwa perempuan adalah mahluk nomor dua. Posisi perempuan dalam Al-Qur’an setara dengan laki-laki. Tuhan tidak membedakan hambanya dari ras, budaya, warna kulit, dan gender. Yang membedakan adalah ketakwaan kita sebagai hamba.


Epistemologi Hermeneutika

Untuk menghindari ketimpangan yang lebih luas lagi, dibutuhkan sebuah metode dalam menafsirkan teks dari kitab suci, agar mendapatkan makna yang lebih objektif. Metode Hermeneutika merupakan metode yang cukup representatif bagi sebagain tokoh peminis dalam mengungkap misteri simbolik di dalam teks kitab suci.


Istilah hermeneutika pertama kali di kembangkan sebagai alat untuk menafsirkan Bibel. Dengan seiring berkembangnya pengetahuan, metode ini dilakukan sebagai alat interpretasi pada bidang lainnya, seperti sastra, budaya, sosiologi, filsafat, dan bidang ilmu pengetahuan lainnya.


Hal yang paling subtansial dalam metode hermeneutika adalah untuk memahami dinamika antara hal-hal yang sifatnya universal dan partikular. Kitab suci selalu di turunkan atas dasar kondisi Sosio-kulturalnya. Itu sebabnya segala bentuk kitab suci di dunia ini selalu menggunakan bahasa di mana di turunkannya.


Faktanya, setiap kitab suci, seperti Kitab suci Weda dalam agama Hindu menggunakan bahasa Sansekerta, Tripitaka dalam agama Budha dengan bahasa Pali, Zarathustra dalam agama Zoroaster dengan bahasa Persia, Taurat dalam agama Yahudi dengan bahasa Ibrani, Bibel dalam agama Kristen dengan bahasa Aramaik, dan Al Qur’an dalam agama Islam dengan bahasa Arab.


Generasi muslim dewasa ini harus memerhatikan bahwa kitab suci selalu terikat oleh Sosio-kultural pada masa itu, seperti “bahasa” Konteks di gunakannya agar wahyu dapat dengan mudah dipahami oleh manusia. Bukan agar bahasa arab menjadi suci.


Jika kitab suci sudah masuk pada bahasa manusia. Maka akan terjadi perbedaan penafsiran, sehingga berimplikasi pada kebenaran yang sifatnya relatif, karena sudah masuk dalam wilayah interpretasi manusia.


Dari fakta di atas bahwa Al-Qur’an sudah tidak menggunakan bahasa Tuhan lagi, karena bahasa Tuhan sudah dibahasakan kembali oleh Nabi Muhammad SAW menggunakan bahasa daerahnya. Hal ini, dapat di ketahui bahwa nabi Muhammad SAW sendiri pernah berselisih paham dengan Umar bin Khattab tentang pelaksanaan perintah Al-Qur’an pada pembagian harta dan tawanan perang. Umar bin Khattab menolak perintah Al-Qur’an dalam pembagian harta rampasan perang dan cara memperlakukan tawanan perang. Umar lebih mempertimbangkan dan melihat kondisi masyarakat dengan menggunakan rasionalitasnya. Maka tidak selamanya teks selalu relevan dengan kondisi sosial, perintah dalam teks Al-Qur’an tidak harus diikuti jika tidak sesuai dengan kemaslahatan masyarakat secara luas.


Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam memahami Al-Qur’an, yaitu teks, konteks, dan penafsir. Ketiga unsur ini selalu berkaitan dan tidak bisa dipisahkan, setiap ayat yang turun selalu berdielektika dengan Sosio-Kultural di mana tempat ayat tersebut turun, kemudian mencoba dipahami oleh penafsir. Dari proses penafsiran ini, maka akan timbul perbedaan pemaknaan Al-Qur’an yang dipengaruhi oleh Sosio-Kulturalnya. Itu kenapa ulama selalu berbeda pendapat dalam menafsirkan Al-Qur’an dalam menentukan hukum Tuhan.


Ayat tentang pembebasan perempuan tidak lepas dari faktor sosial bangsa Arab kala itu. Di mana saat itu, penguasa Arab selalu membunuh para bayi perempuan yang baru lahir dengan cara dikubur hidup-hidup dan membuat perempuan sebagai budak untuk memuaskan nafsunya. Atas dasar itu, kemudian Al-Qur’an di turunkan untuk pembebasan bagi kaum perempuan.


Perbedaan konteks dalam menafsirkan teks membuat makna Al-Qur’an tentang pembebasan perempuan kian meredup. Segala bentuk penafsiran selalu di tulis oleh laki-laki menurut perspektif, kehendak, dan kebutuhannya. Sementara itu, partisipasi dan representasi pengalaman perempuan ditiadakan. Itu sebabnya paradigma kaum muslim tentang perempuan tidak sesuai dengan semangat keadilan Al-Qur’an.


Dalam melihat dinamika seperti itu “Amina wadud” seorang feminis muslim kemudian menggunakan metode Hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an. Metode ini mempertimbangkan ulang semua metode tafsir yang sudah di tafsirkan oleh laki-laki. Pembacaan ulang teks Al-Qur’an berdasarkan pengalaman perempuan tanpa melibatkan steriotipe yang sudah menjadi kerangka penafsiran laki-laki.


Tujuan metode ini untuk menyanggah paradigma kaum patriarki yang selama ini mengakar pada dirinya. Amina wadud dan kaum feminis lainya tidak sepakat dengan metode penafsiran para ulama yang hanya menafsirkan Al-Qur’an tanpa memikirkan setatus gender.


Perempuan dan Paradigma Patriarki

Secara historis, semua masyarakat sepanjang zaman selalu didominasi oleh laki-laki. Ini manjadi titik omega munculnya doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, seorang perempuan tidak cocok menjadi pemimpin. Anggapannya bahwa akan terjadi malapetaka jika seorang perempuan menjadi pemimpin di sebuah negri.


Sudah menjadi rahasia umum slogan patriarki yang menganggap “perempuan adalah sosok yang lemah, tidak sederajat dengannya, perempuan yang baik adalah perempuan yang di dalam rumah”. Apriori seperti itu akan mempengaruhi kedudukan perempuan dalam ranah publik.


Dewasa ini kekerasan terhadap perempuan masih sangat rentan. Dalam catatan Komnas perempuan, data KTP yang diterima dari berbagai mitra Lembaga layanan sebanyak 8,234 kasus. Di antara kasus yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 2,025 kasus (31%) menduduki peringkat pertama, kemudian disusul kekerasan seksual sebanyak 1,983 kasus (30%), kekerasan psikis 1,792 kasus (28%), dan kekerasan oleh faktor ekonomi sebanyak 680 kasus (10%).


Problem yang terjadi dimasyarakat dewasa ini masih kental menganut kayakinan tersebut. Masih banyak perempuan yang mendapat pengekangan dalam rumah tangga, sehingga anak-anak mereka menjadi sasaran utamanya, bahkan banyak dari orang tua yang membatasi pergerakan anaknya sehingga berimflikasi kepada minimnya pengetahuan yang selalu didominasi oleh perempuan.


Al-Qur’an mengakui perbedaan anatomis laki-laki dan perempuan. Namun, perbedaan itu bukan jadi alasan untuk mendeskriditkan perempuan baik dalam ranah keagamaan, sosial maupun pendidikan. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama seperti yang sudah saya jelaskan di atas.


Pancor, 12 Januari 2023

×
Berita Terbaru Update