Notification

×

Iklan

Iklan

Menjaga Ekologi Alam Melalui Kearifan Lokal

Kamis, 05 Januari 2023 | Januari 05, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-01-06T02:43:23Z

Muh. Samsul Anwar, MA.
Dosen IAIH Pancor dan Pemerhati Lingkungan


34.
Pulau Sasak kecil sekali
Tapi gunungnya besar dan tinggi.
Kalau orang pandai mengkaji.
Pastilah sujud seribu kali.
(Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru 1981)


Setiap fenome alam akan memiliki tandanya sendiri ketika akan terjadi sesuatu. Banjir merendam 5 desa di Kecamatan Pujut, termasuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Mandalika, Lombok Tengah, 6 kelurahan di dalam kota Sumbawa Besar tersapu bajir. Banjir di Sekotong, 6 Desa direndam banjir, di Lombok Barat, dan Longsor di Sembalun Lombok Timur.


Bencana ini akan terus mengancam, kapan dan di mana pun. Tidak keterkecuali Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pulau yang memiliki luas ± 4.738,7 Km2 ini dengan dikelilingi oleh lautan. Di samping itu juga, Pulau Lombok memiliki tujuh gunung (Rinjani, Mareja, Timanuk, Nangi, Perigi, Pelawangan, dan Baru), dengan Gunung Rinjani yang tertinggi mencapai 3.775 m. Kondisi ini sewaktu-waktu bisa menjadi ancaman, kapan saja terjadinya bencana alam seperti sekarang ini terjadi.


Pulau Lombok yang didiami oleh 90% suku Sasak ini, mayoritas beragama Islam (94,8%), Kristen Protestan (0,2%), Kristen Katolik (0,1%), Hindu (3,7%), dan Budha (1,2%). Mayoritas Islam di Pulau Lombok ini berdampak pada terjadinya akulturasi agama Islam dengan budaya lokal atau keyakinan lokal Sasak (Sasak Boda) yang melahirkan corak baru.


Islam Wetu Telu

Agama apapun di dunia ini tidak berada pada vakum budaya setempat. Islam datang ke Indonesiapun sudah ada budaya atau keyakinan lokal (tribal religion) setempat yang sudah mengakar. Begitu juga Islam datang ke Pulau Lombok juga sudah mengakar budaya dan keyakinan lokal setempat. Di sinilah Islam sebagai pendatang dengan agama asli memainkan perannya untuk berdialog kreatif, bernegosiasi yang menghasilkan budaya baru, bernuansa Islam bercampur adat-istiadat.


Islam wetu telu adalah bukti inkulturasi, akulturasi Islam dan budaya atau keyakinan lokal. Wetu telu idenitik dengan mereka yang sangat berpegang pada adat istiadat leluhur mereka, tetapi tetap seorang muslim dan praktik dalam kehidupan sehari-hari diakulturasikan dalam bentuk idiom adat. Seperti ritual gawe urip; ritual buang au, ritual ngurisang, ritual ngitanan, ritual merosok, merariq/maling, metikah, ruah bale; Ritual Gawe Pati; nusur tanah, nelung, mituk, nyiwak, matang puluh, nyatus, dan nyiu.


Konsep Kosmologi Wetu Telu

Istilah wetu sering diartikan waktu oleh mayoritas Islam. Sehingga wetu telu merujuk kepada sistem keyakinan yang mereduksi dalam segala sesuatu ke dalam tiga kategori. Padahal tidak demikian. Wetu, menurut para pemangku adat berarti muncul atau datang dari. Sehingga secara harfiah wetu telu diartikan sebagai siklus kehidupan makhluk hidup. Artinya, wetu telu yaitu menganak atau melahirkan seperti manusia dan mamalia; menteluk atau bertelur seperti burung; mentiuk atau tumbuh seperti tumbuh-tumbuhan, biji-bijian, pohon, buah-buahan, dan lainya.


Dengan demikian semua makhluk yang tercipta pasti melalui tiga tahap tersebut dengan memiliki cara kehidupan masing-masing dalam menyelaraskan diri dengan lingkungan lain.


Dalam konsep kosmologi wetu telu, kehidupan makhluk hidup harus seimbang dan selaras. Sehingga dalam keyakinan wetu telu kosmologi dibagi ke dalam dua kategori, yaitu jagad besar (mayapada) dan jagat kecil.


Jagat Besar dan Jagat Kecil

Jagat besar adalah alam semesta, seperti matahari, tanah, air, bintang, bulan, dan lainya. Sedangkan jagat kecil menunjuk pada manusia dan makhluk-makhluk yang bergantung pada alam semesta.


Ketergantungan ke dua dunia ini menjadikannya menjadi satu dunia dan dari keseimbangan tatanan alam semesta berkerja. Ketergantungan jagat kecil terhadap jagat besar terlihat pada kebutuhan sehari-hari jagat kecil pada air, tanah, sinar matahari untuk mengeringkan, dan lainnya. Begitu juga sebaliknya ketergantungan jagat besar terhadap jagat kecil dalam pelestariannya terhadap air, tanah, dan alam semesta.


Konsep kosmos ini menjadi sistem pandangan hidup bahkan sampai sekarang. Sebagai pandangan hidup keyakinan wetu telu, tentu berimplikasi juga pada kehidupan sehari-hari yang terimplementasi pada ritual adat istiadat mereka. Misalnya ritua upacara ngayu ayu tirta, yaitu ritual pengambilan air dari mata air yang mana telah berada pada waktu desa itu ada. Kemudian dijaga oleh para pasukan prajurut desa yang siap berperang demi menjaga air suci tersebut.


Ritual ngaji makam turun bibit, yaitu membaca doa yang diselenggarakan pada saat musim tanam, ngaji makam tunas setamba yang dilakukan saat penyuburan tanah dan ngaji makam ngaturang ulak kaya yang diselenggarakan pada saat panen dan banyak lagi ritual lannya. Misalnya tata cara menjaga dan mengelola tanah warisan leluhur. Setiap tanah warisan leluhur haram hukumnya dijual. Jikalau dilanggar, maka orangnya akan terkena murka leluhurnya sehingga hidupnya akan banyak mala petaka. Inilah kearifan lolak kita.


Oleh karena itu, manusia merupakan bagian yang penting dalam pelestariannya. Apabila manusia yang merupakan komponen penting, mengekploitasi berlebihan terhadap jagat besar, maka keseimbangan kosmos akan terganggu. Terganggunya keseimabangan kosmos terlihat dengan banyaknya bencana alam seperti banji, longsor, kekeringan, dan lain sebagainya.


Kearifan lokal yang kita miliki dan praktik ritual wetu telu yang banyak dipraktikkan dalam ritual adat berfungsi sebagai pengendali tingkah laku manusia yang tidak hanya untuk jagat kecil saja melainkan juga jagat besar. Tujuan ritul-ritual itu dijalankan untuk menjaga hubungan harmonis antara jagat alam raya ini dengan manusia.


Pancor, 06 Januari 2023


×
Berita Terbaru Update