Mahasiswa Prodi KPI FDK IAIH Pancor
REFORMASI.net - Mentari bersinar redup di antara ranting pohon trembesi. Tampak puluhan berseragam hitam putih duduk berjejer di depan ruang tes. Dibatin mereka tengah berdo'a semoga impian indah bukan lagi khayalan. Pikiran mereka bergelayut membayangkan amplop yang mereka terima sebulan sekali, yang semula terisi hanya tiga lembaran berwarna merah, berganti dengan puluhan lembar. Semoga janji pemerintah merubah nasib guru honorer bukan isapan jempol semata.
Waktu berlalu, para peserta tes beranjak memasuki ruang pengecekan data, satu persatu mereka meninggalkan tas, dan atribut yang terlarang. Hanya sebuah pensil dan nomor tes yang dibawa.
Ruang III tampak sesosok pria berusia tidak muda lagi. Kulitnya yang mulai layu, serta rambut keperakan mengisyaratkan hal itu. Tangannya gemetar kala mengusap mouse. Sesekali ia membetulkan kembali kacamata yang terlihat bagian kacanya bergaris. la duduk di urutan pertama bagian tengah.
“Ya Allah, benarkah bentuk soal ini yang harus ku jawab? sesulit inikah soalnya,” keluh batin Pak Daeng.
Pak Daeng kemudian menengok kanan dan kiri peserta lain, membuat konsentrasi pengawas tertuju padanya.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Bu Izzah. la menatap dalam Pak Daeng, sejenak ia berpikir. Kemudian mencocokkan nomor di daftar peserta yang ia pegang.
“Bu, bisa bantu saya?”
“Tentu Pak, dengan senang hati,” jawab Bu Izzah ramah.
Bu Izzah dengan telaten membantu Pak Daeng. Dengan kesabaran ekstra ia tuntun. Tak lama kemudian, ia berjalan ke arah peserta lain yang mengalami kesulitan, kemudian duduk kembali.
Ada butir bening siap menganak di sudut mata Bu Izzah terus fokus menatap Pak Daeng. Hatinya kian teriris menatap pilu sosok yang sangat ia kenal dua puluh tahun yang lalu.
Seusai ujian, tampak Pak Daeng agak gemetar. Dua maniknya mengisyaratkan sebuah kekecewaan besar, saat menatap layar monitor di depannya. la bangkit, berjalan pelan, ia agak terkejut bersitatap dengan Bu Izzah.
“Pak, masih ingat saya?” Tangan putih nan lembutnya terulur seketika Pak Daeng mengamati, kemudian lama berpikir dan sensor matanva langsung membidik papan nama di dada Bu Izzah.
“Eh, siapa ya? Seperti tidak asing dengan nama Ibu.” Pak Daeng terdiam, mulai mencoba mengingat.
“Ini Izzah, Pak. Nurul Izzah mahasiswi, Bapak.” Bu Izzah tersenyum ke arah Pak Daeng.
“Oh, Izzah. Masya Allah, Insya Allah Bapak ingat.” Sambil menepuk bahu mantan mahasiswinya.
Mereka berbincang agak lama, kemudian Bu Izzah membimbing mantan dosennya berjalan keluar. Ada rona getir tampak di wajah Bu Izzah saat itu. Jiwa halusnya bergetar, ada desiran hangat mulai menjalar. la duduk menuju monitor, mengamati hasil nilai akhir Pak Daeng. Ada rasa sedih mengeja angka perolehan.
Dengan langkah gontai, Pak Daeng berjalan menuju parkir. la sedikit meringis menahan rasa sakit di telapak kaki yang berbalut kaus kaki, terkena batu kerikil.
“Kenapa masih memaksa memakainya, Pak. Aku takut luka bapak nambah parah.” Bu Tuti menatap sedih rekannya. “Nggak apa-apa, ini sudah sampai, kok,” sambung Pak Daeng seraya mengelap peluh di keningnya.
“Aku duluan ya, Pak, suami sudah nunggu di depan gerbang,” tunjuk Bu Tuti.
“Silahkan, Bu,” ucap Pak Daeng sambil menuntun sepeda tuanya.
Matahari semakin meninggi, tepat di atas kepala. Pak Daeng masih asyik mengayuh sepeda tuanya menyusuri jalanan berbatu. Panas menyengat kian membakar kulit keriputnya yang kini kian legam.
Di sepertiga malam, Pak Daeng khusyuk memunajatkan do'a tiada henti. Berharap Sang Khalik mengabulkan do'anya yang dipenuhi rinai air mata. Tangannya yang mulai mengeriput dan tonjolan urat berwarna biru menghiasi tangan yang telah menghantarkan ratusan murid itu menuju gerbang kesuksesan. Ada desiran hangat di benaknya yang merasa tak mungkin lulus tes tahap I, mungkinkah tubuh renta di usia 52 tahun itu meraih secercah asa itu, jika nilainya jauh dari Passing Grade.
Di sebuah pagi yang sejuk, terlihat Pak Daeng tengah khusyuk berdo'a di sholat duhanya. Seusai sholat duha, batinnya kian terasa sejuk, laksana seorang anak mengadu kepada Sang Ibu dan didengarkan serta diberikan nasihat baik. la melipat sajadah berwarna merah dan menyimpan kembali di almari kayu pojok mushola.
Tampak jauh di sana, di depan ruang kelas. Beberapa siswa sedang menanti bel masuk. Sebagian siswa berkejaran, suara jeritan, dan lengkingan mereka memecah keindahan pagi hari.
“Pak, hari ini hari jum'at pengumuman,” ujar Bu Tuti.
“Ya ingat Bu,” jawab Pak Daeng.
“Nanti kita melihat siaran langsung bersama, ya, Pak,” saran Bu Tuti.
“Ya, Bu,” jawab Pak Daeng.
Bunyi bel pulang terdengar, sontak semua murid bersorak gembira. Pak Daeng menatap tajam muridnya membaca surat al- 'Asr dengan sikap sempurna, dengan tangan di lipat di atas meja. Satu persatu mereka berbaris rapih, keluar ruangan sambil mengucapkan salam.
“Pak Daeng, ayo, masuk.” Bu Tuti mempersilahkan Pak Daeng bergabung dengan dewan guru yang lain.
“Ya, Bu.” Pak Daeng langsung ikut bergabung.
Wajah mereka sebagian penuh kecewa mendengarkan akhir pidato, pengumuman diundur nanti tepat pukul dua belas siang.
Pak Daeng dan dewan guru yang lain pulang dengan penuh tanda tanya besar. Masihkah pemerintah memberikan angin segar bagi honorer negeri yang berusia tua, seperti mereka.
Sepeda tua Pak Daeng membelah jalanan aspal panas yang terlihat berasap, kemudian memasuki gang sempit menuju rumah sederhananya.
Malam kian larut, namun mata Pak Daeng belum juga bisa terpejam. Netranya menatap tajam langit-langit kamar, kemudian beralih ke arah jam dinding terpajang di dinding kamar bercat putih yang catnya mulai mengelupas. la mulai beranjak dari peraduan menuju tempat wudhu, kemudian sholat tahajud.
Jam menunjukan setengah tujuh pagi, tepat saat Pak Daeng memakai sepatu tuanya yang bawahnya terlihat berlubang, sebuah mobil avanza silver berhenti di depan rumahnya. la mendongak, terlihat sesosok wanita cantik beseragam pemda turun dari mobil.
“Assalamualaikum, Pak.” Tangan wanita cantik itu mengulur ke arah Pak Daeng dan mencium takzim punggung sang guru
“Wa'alaikumsalam, Bu Izzah,” ucap Pak Daeng tak percaya.
Mereka masuk ke rumah sederhana itu. Bu Izzah memberikan selembar kertas di dalam sebuah map. Pak Daeng berkaca-kaca. Ia begitu tak percaya tentang berita yang ia baca dari tulisan itu. Ya, ia lulus tes tahap I, pemerintah merubah afirmasi bagi guru berusia 50 tahun ke atas. Badannya spontan tersungkur ke lantai, bersujud syukur.
Beberapa bulan kemudian, sesosok pria berumur lima puluhan, tengah menerima SK di tangannya. Butir bening menganak sungai dan tangan keriputnya memegang map dengan gemetar. la menatap wajah-wajah di samping kanan dan kirinya, kemudian berpindah ke arah jendela, Bu Izzah dengan senyum indah menatapnya bangga.
Kini, pria tua yang dulu bersepatu hitam lusuh dan bagian alasnya berlubang itu, memakai seragam rapi, terlihat papan nama terpahat nama dan NIP tersemat di bagian dada sebelah kanan. Sepatunya kini, terlihat bagus, dan berwarna hitam mengilap berjalan menuju ke kelas. la menatap tajam anak-anak berseragam merah putih menantinya di depan kelas berbaris rapi, di bagian depan tampak ketua kelas tengah menyiapkan barisan.
Pancor, 05 Januari 2023