Notification

×

Iklan

Iklan

Ramadhan, Etika Sosial, dan Madrasah Ruhaniah

Jumat, 24 Maret 2023 | Maret 24, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-03-26T09:00:44Z

Muh. Samsul Anwar

Dosen IAIH Pancor


REFORMASI.net - Jadikanlah puasa sebagai madrasah ruhaniah. Menjalani madrasah ruhaniah berarti menjalani perhatian untuk menggeser perhatian yang berlebihan pada ego kita. Hijrahlah dari “rumah kita yang sempit”, menuju Allah dan Rasul-Nya, “rumah semesta yang tidak terhingga” (Jalaluddin Rakhmat, Madrasah Ruhaniah; Berguru pada Ilahi di Bulan Suci)


Al kisah, seorang suci yang selalu rajin beribadah setiap saat suatu ketika bertanya kepada Tuhannya. “Ya Tuhan…adakah orang yang lebih alim dari aku”. Tuhan pun menjawab : “Iya ada, dia adalah si Fulan”. Kemudian orang suci yang rajin beribadah ini pergi untuk mengamati yang ditunjuk oleh Tuhan. Lalu betapa terkejutnya orang suci yang rajin beribadah ini setiap hari melihat si Fulan adalah seorang tua dengan menghidupi istri dan tiga orang anaknya sebagai kuli. Dan lebih terkejut lagi orang tua ini beribadah beberapa waktu saja berbeda dengan dirinya yang beribadah setiap hari. Lalu orang suci ini bertanya kepada Tuhannya, “bagaimana bisa oang tua itu lebih alim dari saya”. Lalu Tuhan menjawab “kuperintahkan kepadamu untuk mengambil mangkok kemudian penuhilah mangkok itu dengan air susu. Letakkanlah di kepalamu dan berjalanlah menuju kota. Selama dalam perjalanan itu, kamu tidak boleh menumpahkan setetes pun air susu serta itu pula selama perjalanan harus terus berzikir kepadaku. Kita liahat apakah kamu berhasil”. Orang suci itu pun melaksakannya perntah Tuhannya. Apa yang terjadi kemudian? Ternyata tidak satupun mengingat atau berzikir kepada Tuhan, karena terlalu sibuk menjaga mangkok yang berisi air susu itu agar tidak setetespun tumpah. Tuhan lalu menjelaskan “Lihatlah engakau, karena sibuk hanya menjaga air susu dalam mangkok saja engkau tidak pernah mengingat-Ku. Tidakkah men jaga istri dan tiga orang anak agar tidak kelaparan setiap hari lebih berat dari pada menjaga air susu dalam mangkok? Lihatlah dia, meski berat orang tua itu tetap sempat sembahyang kepada-Ku. (Eko P Darmawan; 2005, xii-xiii).


Marhaban Ya Ramadha. Kata-kata yang sering terlihat baik di spanduk-spanduk, bahkan di media-media elekronik ketika bulan puasa datang. Marhaban berasal dari kata rahbat, artinya lapan atau luas. Marhaban Ya Ramadha, artinya kita menyambutnya bulan puasa yang penuh hikmah dengan hati luas, lapang dada dan penuh kegembiraan; tidak menggerutu dengan kehadirannya. Kata-kata ini sering diucapkan agar jiwa kita diasah dan diasuh untuk menghadap kepada Allah SWT.


Di negeri ini, datanggnya bulang Ramahdhan disambut dengan kenaikan harga-harga sembako yang semakin tinggi; perbaikan jalan-jalan di sepanjang jalan negeri ini; perdebatan awal dan akhir bulan puasa; bermunculnya nyanyian-nyanyian religi; serentaknya para selebritis dan politisi berpenampilan muslim bahakan iklan-iklan dan tayangan-tayang di TV mendadak menjadi religius dan ramainya lalu-lalang sanak-saudara ke kampung halaman serta banyak lagi rutinitas yang menghiasi datangnya bulang Ramadhan di negeri ini. 


Bulan Ramadhan, tidak hanya mahnet bagi seorang muslim dalam meningkatkan derajatnya di sisi Allah melainkan juga mahnet bagi para kaum pemodal dalam mengkapitalisasi bulan Ramadhan dalam memperoleh keuntungan materil sebesar-besarnya. Oleh karena itu, bulan Ramadhan adalah bulan yang juga disebut bulan penuh rahmat dan berkah.


Puasa sebagai Etika Sosial

Menurut Gus Dur, dalam ajaran Islam terdapat dua rukun, yaitu rukun Iman dan rukun Islam. Rukun Iman terkait dengan keimanan, hubungan pribadi dengan Tuhannya (habluminal Al-Allah). Sedangkan yang kedua, adalah terkait dengan amalan sebagai prektik dari Iman (Hambluminn an-Anash), yang menurut Gur Dur terselip dimensi sosial. Sehingga pengamalannya tidak hanya berpahala bagi pribadi, melaikan juga memiliki dampak sosial yang luas bagi masyarakat.


Dasar puasa menjadi etika sosial, adalah pemahaman dan perluasan term akhlak. Akhlak dimaknai sebagai etika, yang kemudian diluarkan menjadi etika sosial. Hal ini dikarenakan, menurut Gus Dur, kurangnya dimensi sosial  di dalam kesadaran umat Islam dalam berprilaku keagamaan. Oleh karena itu, puasa sebagai etika sosial berarti memerankan peran subtansi bukan simbolis.

 

Puasa adalah merupakan rukun Islam yang ketiga dalam Islam. Iya merupakan perintah yang wajib dijalankan oleh setiap orang beriman dan tentu saja memiliki dimensi sosial. Yaitu, di mana puasa melahirkan empati, kepekaan atas penderitaan kelaparan, kehausan dan kemiskinan. 


Puasa salah satu cara mendidik individu dan masyarakat dalam menahan, mengerem, atau mengontro kesenangan dirinya walupun diperbolehkan. Dengan puasa, merelakan meninggalkan makan dan minum dengan menahan hawa nafsu dengan meredakan emosi walau berat untuk melakukannya.


Puasa menimbulkan rasa solidaritas, kasih sayang, kepedulian antar saudara dan  rasa kemanusian yang mendalam atas penderiataan sesama manusia. Sehingga perasaan sama-sama lapar, kenyang, menahan emosi, kebersihan pikiran dan kata menjadikan kita saling mengasihi dan menyanyangi tanpa melihat latar belakang, ras, suku dan agama.


Madrasah Ruhaniah 

Puasa tidak hanya muncul dalam satu dimensi saja, sosial melaikan juga puasa memiliki dimensi ruhaniah atau apa yang diistiklahkan oleh Jalaluddin Rakhmat dengan puasa adalah madrasah ruhaniah. 


Puasa sebagai madrasah ruhaniah, yaitu sebagai tempat pemberlajaran jiwa kita agar lebih tajam menembus tirai kegaiban Tuhan. Puasa sebagai akademi dalam kasih sayang-Nya. Sehingga dalam puasa sebagai madrasah ruhani terdapa tafakur dan amal, refleksi dan aksi, dan peribadatan dan penghidmatan. (Jalaluddin Rakhamat; 


Oleh karenanya, berpuasa adalah kasih sayang dan kepedulian sesama manusia lehih tinggi tingkatan amalnya, sebaimana kisah seorang suci ahli ibadah tiap hari lebih memuliakan seorang tua yang peduali terhadap keluarga dan sesamanya agar tidak kelaparan.


Seperti al kisah Nabi Musa a.s bermunajat kepada Tuhan. Sang Maha Suci bertanya “Hai Musa banyak sekali ibadahmu, yang mana untuk Ku? Musa terkejut mengapa Dia bertanya tentang ibadahnya, padahal semua ibadah shalatku, hajiku, doa dan dzikirku hanya untuk-Nya. Tuhan berkata “semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku? Musa bingung dan berkata : “tunjukkan padaku yang lemah ini mana ibadah ku untuk-Mu? Tuhan berkata “berhidmatlah kepada hamba-hambaku!”. Wallahu’allamubissawab


Pancor, 24 Maret 2023

×
Berita Terbaru Update