Cekrek, pintu terbuka, suara decitan pintu mengutuk dirinya, ia sudah sampai pada ruang tamu yang sama gelapnya. Tiba-tiba lampu menyala dan menyilaukan kedua matanya.
"anak kurang ajar" ucap ayahnya beringas
Bram hanya terdiam, ia sudah mati rasa dengan omelan ayahnya yang setiap malam menerka kuping dan perasaannya, Tetap ia hiraukan.
Plakkkk. .
Pukulan itu membuat tanda pada pipinya, tamparan yang dahsyat dari seorang ayah. Namun Bram masih saja datar. Ia hendak berbicara. Namun seperkian detik ia tahan. Sepertinya ada yang menjanggal pada sukmanya. Bunga calla lily yang tadi indah berubah menjadi layu sayu. Pandangan nya sudah melesat mi'raj ke awan. Ayahnya pergi dengan makian tajam, anak durhaka, anak goblok, anak nggak tau diri, tak tau diuntung. ucapan yang tajam mencekik perasaannya kali ini. wajah yang berhias nayanika itu berubah menjadi genengan yang meneteskan air kepiluan. Hingga arunika menjelang, ia masih terkulai di pojok kamar dengan meratapi beban.
Kringg... Kringg.... Kering...
Bunyi hp itu menjeda keheningan otaknya, sebentar, Bram melihat, itu Karina, gadis yang sudah tiga tahun Bram pacarin, semenjak hujan mendayu di pelataran kampus.
"Bram, aku jemput ya" ucap Karina dengan suara yang mendayu-dayu.
"iya" jawab Bram datar
"oke dah, tunggu" ucap Karin, masih dengan suara yang Asoy semlohay oke makjos markojos.
Kampus pagi hari, ketika satpam sedang sibuk mengatur motor mahasiswa yang masih saja memarkir motor dengan sembarangan. Pluit pak satpam bersahutan dengan keributan mahasiswi yang sedang bergosip tentang pencabulan anak dibawah umur. Bram yang baru saja memarkirkan motor nya. dan ia melihat spion, terlihat bekas tamparan ayahnya masih melekat di wajahnya yang lonjong, cenderung tirus dan bersudut.
"Bram, aku mau kenalin kamu ke ibuku," ucap karin malu-malu tapi ahh.. Begitulah perempuan terlalu abstrak lenggokannya.
Bram terdiam, ia masih saja merapikan rambutnya, rambut mode Comma hair dan mencoba menyamakan noda matanya yang masih terlihat bengkak.
"Bram, denger aku gak sih ?" tanya Karin memburu dengan wajah sedikit cemberut, namun yakinlah ia masih cantik, sekilas miri Jamine Tokes hanya saja Karina sedikit lebih putih.
"iya, tapi kapan?" ucap Bram menaikkan alisnya yang runcing
"belum tahu sih, tapi dalam waktu dekat ini kok” jawab Karin
"okedah, kabarin aja" kata beram sembari mengelus rambut Karin yang terurai memanjang. Wajah Karin yang tadi sebal kini terlihat dahayu kembali, Matanya yang menyimpan segala Klandestin meraba dada Bram hingga sejuk.
Kebahagian kedua pemuda itu melintasi lorong kampus, tak henti-hentinya Bram menatap Karin, begitu juga dengan Karin, tak bosan-bosannya menanyakan lamaran Bram setelah wisuda nanti. Asmaraloka terjalin di kampus yang hijau, bahkan sepanjang jalan cwiwit, cuit, cuit merangkak keteliga mereka berdua. Namun, dengan hati yang saat ini bak Nirwana, pastilah mereka hiraukan.
Bram menganggap Karin adalah perempuan yang utuh baginya, bukan hanya parasnya yang indah seperti bunga Mandevilla. Juga tutur bahasanya yang sopan. dan Karina juga memiliki Eunoia. Hubungan mereka terjalin indah seperti saat ini, tentunya hasil dari perjuangan Bram untuk mendapatkan Karin si paras indah bermata cinnamon. Teringat beberapa tahun yang lalu, Ketika Karin didekati oleh cowok lain, Bram yang pertama kali menitip Bogeman mentah pada wajah cowok itu, disaat Karin yang sedang kebingungan dengan masalah biaya SPP, Bram lah yang sukarela menjual jam mahalnya demi perempuan yang ia sayang supaya tak bersedih lagi. dan banyak lagi perjuangan Bram yang tak bisa ia uraikan dengan mata hati, yang ia tahu, Karin begitu indah dimatanya. Ia merasa telah jatuh hati pada gadis yang tepat.
Lantas , bagaimana Bram bisa mendapatkan Karin ? mungkin kalian akan bertanya demikian. Agar cwiwitt cuit cuit itu selaras asmaraloka , yuk kita ceritakan, siap . oke yok gas…
Suatu ketika, saat itu hujan turun sangat lebat menghujam dataran bumi. saat itu, karin sedang berteduh di pelataran kampus, Bram yang sendirian memandangi wanodyanya itu dari kejauhan, ternyata ada udang dibalik derasnya hujan sore itu. rasa ingin mengutarakan perasaan sudah tak terelakkan. Ia langkahkan kakinya, lalu ia kembalikan lagi, langkahkan lagi, di kembalikan lagi. Begitiu seterusnya “Kan kecoa lu, Bram. kebalik tau rasa lu.” keraguan merangkak ke hati. Bram mencoba menarik napas lalu mengebuskannya kembali. Akhirnya Bram benar-benar mendatangi Karin
"mmm..kar" ucap Bram kikuk
"eh iya Bram" ucap Karin sembari mengusap air hujan yang jatuh pada wajahnya.
Ah, Bram tak kuasa melihatnya, jantungnya seakan meledak seperti Bom Hidrogen RDS-220, bom yang pernah meledak di atas Novaya Zemlya. Bram kikuk dibuatnya, karina juga kikuk, mereka sama kikuk nya. kedua sejoli itu kikuk-kikukan. Bram menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. Karin juga mengusap wajahnya yang sebenarnya tak ada air yang menempel pada wajah seindah maldevilla itu. Kebingungan dan kikukan itu menyela pada hati mereka.
"jadi.. Mmm mm. Sebenarnya.. Mmmmm aku.." sekali lagi terbata-bata Bram setelah melihat mata Karin yang indah cokelat cinnamon.
"apa Bram?" tanya Karin memburu
"Kar, mm mm aku, aku, ee aku sebenarnya mencintaimu"
Jederrrr…
meledak jantung Karin, apakah kuping mungil nya tak salah dengar?. Bram yang wajah rupawan, kaya raya, punya rumah Gedong, menyatakan perasaan kepada seorang gadis dari desa. Ahhh, mimpi apa Karin semalam. Karin kikuk lagi, se kikuku-kikuknya. Awalnya Karin tak menyangka Bram menyatakan perasaan padanya, diplataran kampus dengan ditemani rintik hujan. Seharus nya di cafe Batavia kek, atau setidaknya di cafe Gran Via. Oh tidak, Karina tidak sematre itu
"kenapa kamu suka sama saya?"
"kenapa kamu cinta sama saya?"
Pertanyaan itu menggerogoti otak dan juga sukma, buih asmaraloka sebentar lagi bermekaran, bukan hanya sekedar bunga Lily of the Valley, tapi lebih dari itu. Bram diam sejenak, ia menarik napas dan mengembuskannya kembali, Matanya tajam menatap mata Karin, begitu juga Kari tak kalah tajam nya. Mata mereka berpandangan mesra. tak ada jamanika yang menghalangi, kecuali suara napas mereka yang saling bersahutan.
"aku tidak punya alasan untuk mencintaimu, sebab cinta memang tak ada alasan, ini tentang rasa, bukan ekspresi" ucap beram yakin.
Duarrr.. Jantung Karin kembali meledak, ini bukan hanya bom hidrogen RDS- 220 tapi, ini Bom Nuklir Mk-36 (10 Megaton). Karin terdiam setelah mendengar alasan kenapa Bram sampai jatuh hati pada nya, yang alasannya itu tanpa alasan. Karin dibuat jatuh ke palung Mariana. Ia usap lagi wajahnya yang sudah mulai diendapi air hujan.
"jadi bagaimana?" tanya Bram mencari kepastian
"maukah engkau jadi jatukrama dalam hidup?" Tanya Bram lagi dengan menyatakan maksudnya, kini kehancuran dan keberuntung beda tipis pada pelupuk mata.
"mmm iya, aku mau" jawab Karin tak kalah yakinnya dengan Bram.
Bram tersenyum dan hendak memeluk Karin yang terlihat kedinginan, seperkian detik Karin menangis tangan Bram.
"ett ett ett, belum waktunya ya" ucap Karin menggoda
Saat itulah, cinta mereka masih subur sampai saat Bram dan Karina sebentar lagi akan wisuda.
di meja kantor yang mengkilat, ayahnya sedang duduk santai didepan laptop yang masih terbuka. terlihat plang raksasa yang bertuliskan PT. Brama Putra tbk. Di bagian depan perusahaan yang raksasa. Nama perusahaan yang megah itu adalah nama Bram dan juga ayahnya, Putra. Bram menyodorkan sebuah surat dari kampus institut Laksamana. Terlihat itu adalah undangan wisuda. Ayahnya menerima, walau sempat memalingkan wajahnya yang tak ingin melihat anak bujang nya. Namun, mata ayahnya berkaca juga. Ia tak bisa menahan rasa sakit gonjang ganjing dalam bahtera rumah tangga mereka, ketika ibu Bram kabur dari rumah membawa adiknya, dan menggugat untuk bercerai, alasan yang memang masuk akal. Saat itu, ayah Bram ketahuan berselingkuh dengan sekertaris nya sendiri. Saat itu tanpa sengaja ayah Bram ketahuan bermesraan di ruangan kerja nya oleh ibu Bram yang saat itu sedang mengantarkan makanan siang untuk suaminya. Bram saat itu masih kecil yang dititp ke bibi Sri mengasuhnya. Dari hari itu, ibu Bram tak kunjung terlihat, begitu juga dengan adiknya Bram. Ibu dan anak kecil itu hilang entah kemana, ayah Bram mencoba, mencari ke rumah mertua nya, tapi naas. Ia tak menemukan ibu dan anak yang beruia satu tahun setengah itu.
Ayah Bram berdiri dari kursi goyang nya, lalu mendekap erat tubuh Bram. Air matanya mengalir hangat di pundak Bram. Hingar bingar tangis ayah memecah ruangan kerja. Bram diam tak berkata apa-apa, hanya menjatuhkan air mata. Ayahnya melepaskan badan Bram, lalu menatapnya tajam dan memeluknya kembali.
"nak, maafkan papa ya" ucap ayahnya lirih
Bram diam, hanya anggukan yang mewakili perasannya.
Terlihat, senyum tulus dari seorang ayah pada anaknya, walaupun ayah Bram adalah ayah yang bisa dikatakan ganas, suka memukul, memaki Bram disaat kenakalan seorang remaja menerka hati seorang ayah, namun ayahnya juga merasakan pahit begitu mendalam. Ayahnya hanya ingin melihat Bram sukses dikemudian hari dan meneruskan apa yang sudah dirintis oleh ayahnya.
Sandyakala
(Komunitas Bhavana Lombok Timur)
Pancor, 23 Maret 2023