Kegiatan ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Tarbiyah Dr. Idawati, M. Pd, Kaprodi PAI IAIH Pancor Khairul Hafizin, M. Pd, Keynote Speaker Dr. Ahmad Muzayyin, MA., Narasumber H. L. Miftahussurur, S. Ag., Mahasiswa/i IAIH Pancor, dan Perwakilan Madrasah.
Dalam laporannya, Ketua HMPS PAI IAIH Pancor Zulhayyi Anwari menyampaikan alasan dilaksanakannya seminar moderasi beragama.
"Jadi landasan dilaksanakannya kegiatan ini sebagai bentuk kepedulian kami terhadap negara Indonesia ini di mana masyarakatnya heterogen, yakni sangat kaya dan beragam. Kemudian, perlu edukasi-edukasi untuk mahasiswa/i dan siswa/i agar tidak terjadi konflik, diskriminasi, intoleransi, dan lainnya," ungkapnya.
Lanjut, ia berharap dari kegiatan seminar moderasi beragama ini muncul pelopor toleransi.
"Kami memulai mengadakan kegiatan ini dari HMPS PAI IAIH Pancor berharap muncul para pelopor toleransi di IAIH Pancor dan sekolah-sekolah di Pancor," ucapnya.
Selanjutnya, Keynote Speaker Dr. Ahmad Muzayyin, MA. mengatakan moderasi beragama menjadi falsafah bagi negara dari sebelum kemerdekaan.
"Sebenarnya masyarakat kita ini hidup rukun damai sejak sebelum kemerdekaan sebelum datangnya penjajahan, karena saling membutuhkan. Maka diperlukan pendidikan falsafah kebinekaan maka pantas kerukunan itu harus dijaga," katanya.
Ia juga menyoroti tantangan-tantangan keberagaman kebangsaan bahwa pengamalan agama sering kali menganggap diri paling benar.
"Pertama. Sering kali kita melakukan pengamalan keagamaan dengan menganggap diri paling benar dan orang lain salah. Kedua adalah pemaksaan terhadap pandangan agama bahkan kekerasan membuat harmonisasi dalam kebangsaan di mana dahulu sebernarnya diajarkan oleh para ulama tafsir yang berbeda pemikiran tidak pernah menganggap dirinya paling benar dan menyalahkan yang lainnya. Ketiga adalah sering kali kita mendengar Pancasila tidak sesuai dengan agama tentunya itu yang akan membuat ketidak harmonisan dalam kebangsaan," sebutnya.
Ia juga menghimbau bahayanya gadget yang menjadi sarana rekrutmen pemahaman-pemahaman yang menyimpang.
"Bagi milenial yang aktif gadget selain penting bagi kehidupan juga sangat berbahaya dengan merekrut ke pemahaman yang salah dengan menamakan nihilisme, yakni menyalahkan praktek beragama yang biasa dilakukan lalu dicuci otaknya," pintanya.
Kemudian, Narasumber H. L. Miftahussurur, S. Ag. menyampaikan tentang penguatan moderasi beragama di kampus-kampus.
"Saat ini pemerintah gencar melakukan penguatan moderasi ke kampus-kampus, sekarang ini juga kami masuk ke pondok-pondok, karena menjadi sasaran empuk dalam pengembangan pemahaman radikalisme," katanya.
Ia juga menuturkan sering sekali kita salah mengartikan kata sami'na wa atho'na.
"Sering sekali sami'na wa atho'na dimanfaatkan oleh pembimbing pondok maupun tokoh agama agar santri mau mengikuti perkataan walaupun hal itu salah. Pada suatu ketika di salah satu pondok pernyataan tersebut di gunakan dengan modus menyimak hafalan yang dengan bergiliran begitupun santriwati. Namun, tidak semua tokoh agama seperti itu hanya beberapa yang salah menafsirkannya," tuturnya.
Lanjut, ia menyebutkan sekarang ini lagi digencarkan yang namanya moderasi beragama
"Menurut data bahwa 50% lebih anak-anak terpapar radikalisme dan ada indikator-indikator terpapar, yakni tidak bisa menerima perbedaan jadi kalau tidak bisa menerima perbedaan maka belum sempurna imannya," pungkasnya. (ZUN)